Monday, April 2, 2007

Politik Peradilan

Kenapa peradilan yang disinggung?? Bukankah ada lembaga lain sebut kepolisian, kejaksaan, dan para advokat yang mempunyai peranan penting dalam penegakan hukum di Indonesia?? Benar ,, maksud peradilan diatas ialah sebuah sistematika proses perkara hukum,, mulai dari pengaduan, peyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai persidangan yang memutuskan seseorang itu salah atau benar dan menang atau kalah, guna tercapainya sebuah keadilan. Dalam prosesnya tentulah melibatkan para penegak hukum seperti yang disebutkan diawal tadi.

Image negatif memang pantas melekat pada system hukum di negara kita,, bagaimana tidak…jika peredaran miras, perjudian, pornografi termasuk transaksi sex selalu mendapat backing dari aparat kepolisian, dan para penjahat (pejabat jahat/koruptor) meminta perlindungan para advokat/pengacara hebat jikalau dirinya ketahuan berbuat korupsi,, kalau pun masuk pengadilan keputusannya (vonnisment) di dapat diatur ritme permainannya apakah diputuskan bersalah atau dibebaskan, tergantung seberapa kuat terdakwa tersebut baik secara materil maupaun posisi politiknya. Tidaklah salah ada istilah “KUHP” (kasih uang habis perkara) di negeri kita. Maka tak heranlah banyak orang yang skeptis terhadap penegakan hukum dinegeri ini.

Pengaruh politik…

Ada kaitan apa hukum dengan politik?? Kalau kita berpikir cermat antara hukum dan politik di negara kita seperti dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan,, maksudnya ialah para pejabat negara yang bertugas di bidang hukum mulai dari menteri hukum, kapolri, jaksa agung adalah orang-orang yang diangkat oleh presiden, sedangkan presiden dipilih melalui sebuah proses politik bahkan pemerintahan yang dibentuk presiden merupakan hasil dari “sharing politic” (pembagian kekuasaan),, sehingga mau tidak mau orang yang dipilih itu harus menuruti keinginan orang yang memilihnya,, lihatlah bagaimana Wapres kita yang juga merangkap jabatan sebagai ketua umum partai Golkar. Jika melihat kabinet Indonesia bersatu juga sama, dipenuhi oleh orang-orang hasil pembagian kekuasaan politik (sharing power) katanya sih agar terjadi keseimbangan agar tak banyak yang kritik. Pada akhirnya jikalau ada suatu proses/kejadian hukum yang melibatkan para anggota dari partai mereka maka spontan rasa solideritas para pejabat negara itu pun muncul untuk membantu rekan mereka. Caranya dengan memberikan tekanan politik pada eksekutif dan yudikatif.

Lihatlah bagaimana proses peradilan terhadap akbar tanjung yang saat itu menjabat ketua umum partai Golkar dimana pengadilan negeri dan tinggi menyatakan Ia bersalah dan akhirnya dibebaskan di tingkat kasasi ini adalah contoh pengaruh politik di dalam negeri, selain itu ada lagi yang lebih menakutkan yaitu pengaruh politik luar negeri negara asing contohnya bagaimana hegemoni Amerika Serikat dapat memaksakan ustadz Abu Bakar Ba’asyir mendekam di penjara dengan mengesampingkan asas “Presumption of Innocent” atau praduga bersalah atas dakwaan pelaku teroris yang sebenarnya tidak dapat dibuktikan bersalah secara hukum. Dan sebenarnya masih banyak sekali perkara hukum yang diintervensi oleh kekuatan politik di negeri ini.

Pengaruh uang…

Siapa yang tidak tertarik dengan uang, bahkan idealisme dan keyakinan seseorang pun dapat dibeli dengan uang,, memang terdengar abstrak jika berbicara tentang uang tapi bila seseorang langsung disodorkan cek senilai milyaran rupiah…sulit rasanya untuk menolak…

Hal seperti itulah nampaknya yang juga terjadi dalam peradilan di negeri ini,, istilah “UUD” (ujung-ujung duit) sudah tidak asing lagi bagi orang yang ber-perkara baik untuk si penggugat ataupun tergugat,, sehingga yang paling besar bayaran atau uangnya-lah yang memenangkan perkara yang menyebabkan rusaknya peradilan di Indonesia.

Sulit memang membuktikan bagaimana si tersangka mensuap si penegak hukum,, lihat bagaimana pengacara Abdullah Puteh menyuap Panitera dan hakim di kejaksaan tinggi Jakarta. Itu baru yang ketahuan…. Apalagi yang tidak ketahuan yah……

Mengapa ini semua bisa terjadi…

pertama, ialah memang system hukum di Negeri kita adalah system peninggalan kolonialisme yang pada mulanya berasal dari “Code Penal” atau hukum pidana Prancis yang saat itu dipimpin oleh Napoleon Bona Parte dan kemudian Prancis berhasil menaklukan Belanda sehingga Belanda menerapkan pula hukum pidana tersebut dan pada saat yang sama Belanda sedang menjajah Indonesia sehingga dengan asas “Concordansi” atau istilah komputer-nya ialah “copy paste” Indonesia pun terpaksa ikut menerapkan hukum pidana dari negeri Belanda tersebut. Intinya adalah hukum yang dibuat sejak jaman kolonialisme itu hingga kini adalah hukum yang berasal dari akal pikiran manusia yang sangat-lah tamak akan uang dan harta sehingga hukum itu hanya –lah melindungi kepentingan penguasa/penjajah dan si pemilik modal/uang. Hukum dari sebuah kesepakatan kaum elit, bukan mencerminkan kehendak masyarakat. dan sayangnya sampai saat ini hukum itu masih seperti itu adanya.

Permasalahan kedua, adalah masalah sumber daya manusia-nya dalam hal ini adalah si penegak hukumnya itu,, baik saat perekrutan maupun kualitas pembinaan para calon penegak hukum itu sendiri. Penulis kebetulan saat ini sedang studi di fakultas hukum,, penulis lihat hampir seluruh Universitas baik negeri maupun swasta pastilah ada jurusan hukum-nya dengan jumlah siswa yang sangat banyak dibandingkan jurusan eksakta atau ilmu sosial lainnya. Hal ini karena adanya asumsi dari masyarakat bahwa belajar hukum itu mudah dan ketika seseorang berhasil ber-acara atau menjadi pengacara/advokat ia akan memperoleh penghasilan yang berlimpah. Penulis tidak dapat membantah hal tersebut karena memanglah benar saat ini keadaannya. Dilain sisi dalam perekrutan anggota kepolisian misalnya dimana seseorang haruslah mengeluarkan dana puluhan juta rupiah untuk menjadi seorang bintara saja. Sehingga dengan realitas seperti itu mereka yang masuk lewat cara yang tercela akan berpikiran tercela pula,, sehingga timbulan tindakan suap menyuap dikalangan aparat mulai Jendral sampai Kacung untuk memperkaya diri-nya. Sekali lagi perekrutan dan pembinaan saat ini menyebabkan orang berpikir hukum itu dapat dipermainkan.

Optimis…

Sebagai rakyat Indonesia yang memegang teguh nilai-nilai Islam kita tidaklah boleh pesimis dan apreori negative dalam memandang masa depan sehingga menimbulkan sikap beramai-ramai menjustifikasi bahwa orang hukum ialah orang kotor dan politik adalah kejam. Sehingga banyak orang Phobia dengan Hukum dan Politik. Justru penulis mengajak kita semua untuk belajar dan menggali hukum dan politik itu terutama dalam bingkai Islam. Karena agama kita adalah agama yang mengajarkan aturan yang Komprehensif mulai dari bidang Aqidah, Akhlaq, Ekonomi, Hukum, Politik dan segala aspek dalam kehidupan ini sehingga salah-lah mereka yang menganggap bahwa agama hanya-lah Ibadah saja.

Saudaraku ingatlah bagaimana Khalifah Umar bin Khatab berlaku adil terhadap seorang Yahudi dalam kasus sengketa tanah. Dan juga Ali bin Abi Thalib yang lapang dada ketika kalah dipengadilan dengan seorang Yahudi yang telah mengambil pakaian perangnya karena ia tidak dapat membuktikan si Yahudi bersalah telah mencuri pakaian itu dari dirinya.

Itulah Islam yang sesungguhnya ketika Bumi ini di atur oleh aturan Islam pastilah penghuni-nya akan merasakan Keadilan dan Kesejahteraan.

“Mari saudaraku kita berperan aktif dalam membangun negeri ini, kita harus mempunyai daya kritis dan kepekaan terhadap permasalahan di negeri ini, kita buktikan pada diri kita dan orang lain bahwa hanya Islam-lah yang dapat membawa keadilan dan solusi dari kemiskinan, kebodohan, kelaparan dan ketamakan akan kekuasaan di negeri kita ini…”
Wallahu a’lam ashawaf