Sunday, April 27, 2008

Tren Pemimpin Wanita

Menjadi seorang pemimpin dengan aktifitas yang menuntut seseorang untuk selalu tetap energik, bergerak, sigap, serta mengedepankan pikirannya kini tidak lagi menjadi monopoli kaum adam saja. Pada abad ke-20 khususnya pada dekade akhir isu persamaan hak asasi manusia salah satunya mengenai isu non diskriminasi gender antara kaum laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) secara lantang disuarakan. Selama ini budaya yang berkembang didunia cenderung bersifat “patrilinialis” yang membuat kaum wanita merasa termarginalkan atau golongan kelas dua setelah kaum pria.

Khusus dibidang politik masuknya wanita dalam kancah perpolitikan yang terbilang sebagai dunia yang penuh intrik, caci maki dan jauh dari “kehalusan” bisa terbilang sesuatu yang tabuh. Kita masih ingat dengan Margaret Thatcher dan Benazir Bhutto, di dunia internasional kedua nama tersebut tidak diragukan lagi kepolpulerannya sebagai seoang pemimpin wanita. Lalu di Indonesia ada Megawati yang mampu mengalahkan dominasi kaum pria dalam kepemimpinan di negeri ini. Dalam tulisan ini tidak akan lebih jauh membicarakan perkembangan kepemimpinan wanita secara dunia internasional tapi ingin mengambil dari konteks ke Indonesiaan dan kekinian.

Banyak yang menjadikan sosok kelahiran dan kehidupan Kartini sebagai simbol perjuangan wanita Indonesia. Namun kenyataannya wanita baru dapat muncul mengambil peranan strategis kepemimpinan baik dalam keprofesian hingga pemerintahan satu abad setelah kehadiran kartini. Apa yang menyebabkan kaum wanita berhasil menempatkan haknya yang setara dengan kaum pria dalam hal kepemimpinan?

Ada dua faktor pendobrak perubahan kaum wanita Indonesia, pertama adalah adanya pengaruh perubahan paradigma masyarakat dunia akibat dari pergerakan kaum feminis yang memperjuangkan hak kaum wanita di berbagai negara. Keberhasilan gerakan kaum feminis yang muncul dari eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada tahun 1785 diselatan Belanda. Pada abad 19 dan awal abad 20 keberhasilan gerakan feminisme mulai diterima masyarakat luas dengan gerakan yang mereka sebut Universal Sisterhood.

Salah satu keberhasilan kaum feminin memasukan filosofinya ialah dengan ditandai banyaknya konvensi internasional khususnya di bidang HAM yang memasukkan isu persamaan hak antara kaum wanita dengan pria serta menolak diskriminasi gender. Dari hal tersebut mau tidak mau suatu negara agar dikatakan sebagai negara yang beradab dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan harus ikut meratifikasi berbagai konvensi internasional tersebut, misalnya ICCPR Tahun 1966 (Internastional Covenant on Civil and Political Right) yaitu suatu konvensi internasional dibidang perlindungan hak sipil dan politik. Adanya dasar perlindungan hukum secara internasional tersebut menyebabkan suatu negara tidak terkecuali Indonesia menyesuaikan Hukum Nasionalnya dengan memasukkan isu perlindungan HAM itu salah satunya tentang non diskriminasi gender. Dalam Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimasukkan istilah Diskriminasi yaitu setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Masih dalam UU yang sama diatur mengenai Hak turut serta dalam pemerintahan dan menjamin keterwakilan wanita dalam lembaga legislatif,eksekutif dan yudikatif.

Dalam Amandemen UUD Pasal 28 D ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan persamaan kedudukan dalam hukum, pekerjaan dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dengan demikian semakin jelas posisi dan kedudukan wanita dilindungi oleh hukum positif Indonesia. hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyak munculnya tokoh-tokoh wanita yang menjabat peranan signifikan dalam suatu perusahaan hingga pemerintahan.

Faktor penentu kedua ialah bahwa selama dipimpin oleh pria timbul sebuah kekecewaan karena tidak terakomodasinya kepentingan kaum perempuan, padahal jika ditinjau dari komposisi perbandingan penduduk dunia kaum wanita lebih banyak dibandingkan pria. Sehingga keterwakilan wanita dalam masalah-masalah penting kerap kali di kesampingkan. Faktor ini yang menyebabkan kekhawatiran kaum perempuan bila tidak menempatkan wakilnya dalam masalah kepemimpinan di sektor mana pun di negeri ini. Perubahan paradigma perempuan yang menghendaki kemandirian pun cukup berpengaruh dalam memunculkan pemimpin dari kalangan wanita , ini selaras dengan tingginya tingkat pendidikan kaum wanita. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin kritis cara berpikirnya.

Saat ini kepemimpinan yang dipegang oleh wanita sudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia terlebih sejak terpilihnya Megawati sebagai Presiden Wanita pertama di Republik ini. Kepemimpinan wanita sudah menjadi tren tersendiri yang mampu mewarnai nuansa kompetisi kepemimpinan yang sebelumnya didominasi oleh kaum pria. Mampukah wanita Indonesia menempatkan dirinya sebagai Pemimpin di Negeri ini? Kita tunggu saja perkembangnya ke depan, apakah akan muncul Megawati atau Ratu Atut Khosiah (Gubernur Banten) selanjutkan dalam kepemimpinan di Indonesia. Hal ini sekaligus peringatan bila kaum pria tidak mampu meningkatkan kualitas kepemimpinannya dengan menunjukkan keberpihakannya terhadap permasalahan wanita, mungkin saja kepemimpinan bergeser trennya kearah pemimpin wanita.

Sunday, February 24, 2008

Krisis Pangan Harus Segera Diakhiri

Ketika mantan Presiden Soeharto wafat banyak masyarakat Indonesia yang merasa kehilangan akan sosok presiden yang telah memimpin rakyat ini selama 32 tahun lebih, bahkan banyak dari rakyat kecil tidak pernah mempermasalahkan kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat oleh mantan Presiden kedua Indonesia ini. Alasan masyarakat untuk lebih mengenang jasa bapak pembangunan orde baru ini dibandingkan kediktatorannya yang tidak segan-segan mengesampingkan Hak azasi manusia sangat sederhana yaitu kehidupan rakyat khususnya “wong cilik” lebih sejahtera. Hal ini dibuktikan dengan kebijakan yang dibuat oleh Pa Harto dalam Repelita (Rencana pembangunan lima tahun) yang berusaha meningkatkan sektor pertanian. Dan puncaknya adalah ketika pada 1984 Indonesia dinyatakan mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan beras atau mencapai swasembada pangan. Organisasi Pangan Dunia (FAO) pun mengundang Soeharto untuk menerima penghargaan atas prestasinya. Ini adalah salah satu prestasi besar yang pernah diterima Soeharto di kancah internasional. Sebagai wujud rasa syukurnya, Soeharto pun juga membawa buah tangan, yaitu gabah sebanyak 100.000 ton yang dikumpulkan secara gotong royong dan sukarela oleh petani Indonesia untuk diteruskan kepada warga-warga yang mengalami kelaparan di berbagai belahan dunia, khususnya di Afrika. “Bantuan antar petani ini merupakan sejarah yang pertama kali terjadi di dunia, sekaligus merupakan indikasi, keberhasilan pertanian saat itu di Indonesia,” demikian tertera pada halaman Soeharto Center. Prestasi itu membalik kenyataan, dari negara agraria yang mengimpor beras, kini Indonesia mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton, beras tetapi tahun 1984 bisa mencapai 25,8 juta ton.
Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan secara nasional ini yang tidak mampu lagi dipertahanankan oleh pemerintahan pasca Soeharto hingga sekarang. Saat ini banyak rakyat yang sengsara akibat mahalnya harga berbagai kebutuhan pokok seperti: beras, minyak, gula, dan yang mencuat akhir-akhir ini adalah mahalnya harga kedelai. Kesengsaraan itu timbul dikarenakan daya beli masyarakat semakin menurun sedangkan harga barang semakin naik. Sehingga fenomena yang kita saksikan di media massa adalah banyak rakyat kecil yang beralih memakan nasi aking sampai ada yang tidak makan berhari-hari. Di berbagai daerah ditemukan kasus busung lapar atau kekurangan gizi. Kondisi seperti ini adalah sesuatu yang miris, mengingat negeri ini adalah negeri yang kaya akan sumber alam, dan luas wilayah tanahnya. Akan tetapi kita kalah dengan negara tetangga kita seperti Vietnam dan Thailand yang mampu menekspor berasnya untuk menutupi kekurangan stok beras tanah air. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Keterpurukan di bidang ekonomi ditambah dengan naiknya harga minyak dunia yang berdampak pada kenaikan Inflasi ditanah air, sehingga menyebabkan daya beli masyarakat menurun. Naiknya harga kebutuhan pokok dipicu oleh sulitnya menemukan barang tersebut dipasar dikarenakan reaksi panik dari masyarakat. Dan upaya yang dilakukan oleh pemerintah yang kerap diwakili oleh menteri perdagang untuk melakukan sidak operasi pasar untuk menemukan dan menghukum pedagang ‘nakal’ dinilai hanya sebuah tindakan reaktif yang sia-sia saja. Betapa tidak jika operasi tersebut dengan mudah diketahui waktu pelaksanaannya. Apa yang harus dilakukan oleh pemerintah?
Sebagai regulator pemerintah harus membuat kebijakan yang mengutamakan peningkatan kuantitas dan kualitas produksi pangan. Langkah-langkah nyata perlu diwujudkan segera, jangan sampai kita hanya terjebak oleh polemik yang tidak produktif dan saling curiga dan saling tuduh sebagai penyebab krisis pangan ini. Setidaknya ada dua langkah yang bisa dilakukan. Pertama, Pemerintah harus mengeluarkan kebijakan peningkatan produksi pertanian secara nasional. Caranya dengan meningkatkan reset dibidang teknologi pangan dan mengamankan dan memperluas lahan atau areal untuk menanam. Dengan adanya perhatian yang lebih dalam pengembangan reset di bidang teknologi pangan diharapkan nantinya kita mampu menghasilkan bibit unggul yang murah dan berkulaitas untuk menunjang peningkatan kuantitas dan kualitas produksi pertanian Tanah air. Disisi lain pemerintah harus mempermudah para petani dalam melakukan usahanya, yaitu dengan memberikan modal pertanian dan mensubsidi harga bibit, pupuk hingga membantu mendistribusikan hasil panen para petani.
Kedua, upaya hukum dalam menindak konspirasi yang terorganisir antara para pengusaha yang bekerjasama dengan oknum pemerintah dalam memainkan harga pasar perlu dilakukan. Caranya dengan mengkordinasikan pihak yang berwenang, yaitu Departemen Perdagangan, Perindustrian, Pertanian, Bulog, dan Kepolisian dalam menindak pihak-pihak yang secara hukum merugikan dan berbuat curang. Selama ini operasi pasar dilakukan untuk menindak pengusaha kecil, mengapa tidak dimulai dari pegawai di instasi yang terkait dengan permasalahan pangan ini. Sanksi tegas mutlak diperlukan untuk membuat efek jera. Agar para tengkulak dan pengusaha di bidang pangan takut jika ingin berbuat curang.
Apa yang terjadi dengan keadaan pangan di negeri sungguh bukan suatu hal yang baru. Kita sudah sering mengalami ini dari tahun-ketahun namun mengapa permasalahan ini seolah tidak bisa diatasi. Atau kita tidak mau belajar dari kesalahan yang sama sebelumnya. Sangat bodoh jika kita terjatuh kelubang yang sama untuk kedua kalinya.

Sunday, January 6, 2008

Berantas Korupsi Jangan Parsial!

Ada beberapa momentum penting di penghujung tahun 2007 ini yang mewakili berbagai dimensi kehidupan seperti kesehatan (hari aids 1 desember), hukum (hari anti-korupsi 9 desember), keagamaan ( Idul adha 20 desember dan Natal 25 desember) juga tidak lupa sebuah nilai kasih sayang kemanusiaan (hari Ibu 22 desember). Namun ada satu momentum yang sangat berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang berimplikasi pada dimensi kehidupan lainnya, sebuah nilai yang mengisyaratkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia kelak, yaitu peringatan hari anti korupsi 9 desember lalu.

Seluruh elemen bangsa Indonesia telah sepakat bahwa korupsi merupakan penyebab keterpurukan negeri ini di berbagai bidang kehidupan seperti: ekonomi, pendidikan, hukum, lingkungan hidup hingga kepada keamanan dan pertahanan Negara. Berbagai sendi kehidupan negara telah dirusak oleh penyakit akut yang bernama korupsi itu. Triliyunan rupiah jatah yang seharusnya diterima oleh rakyat melalui APBN dan APBD diambil secara zalim oleh para koruptor yang telah tertutup hati nuraninya oleh pemenuhan hawa nafsu kemewahan duniawi. Peringatan hari anti korupsi yang diselenggarkan setiap tanggal 9 desember yang baru saja berlalu pun tidak berdampak apapun terhadap penghilangan atau setidaknya pengurangan praktik korupsi di negeri ini. Meskipun pada acara peringatan tersebut dilaksanakan dan diikuti oleh para pejabat dari kejaksaan agung, kepolisian dan lembaga –lembaga negara lainnya nampaknya hasilnya akan tetap sama saja jika cara dan upaya yang diterapkan dalam praktik di lapangan tetap sama.

Ekspektasi luar biasa agar korupsi lenyap dari bumi pertiwi ini nampaknya masih jauh dari kenyataan. Dari catatan yang dihimpun oleh Indonesian Corruption Wacth (ICW), terdapat 76 kasus korupsi dengan 206 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di sebagian besar wilayah Indonesia, dari tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), hingga kasasi (Mahkamah Agung). Dari 76 kasus tersebut, terdapat 14 kasus korupsi (18,4 persen) yang divonis bebas oleh pengadilan, sementara sisanya yang 62 kasus divonis bersalah.
Dari data tersebut masih adanya vonis bebas bagi terdakwa korupsi merupakan tanda tanya besar. Ada apa dengan peradilan kita? selam ini yang sering dijadikan kambing hitam adalah masalah sulitnya menemukan alat bukti untuk menjerat para pelaku korupsi tersebut. Bukankah seharusnya ketika jaksa melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan sudah dipersiapkan dengan segala sesuatunya termasuk kelengkapan alat bukti. Ada ada skenario besar yang merupakan rekayasa putusan dari para penegak hukum di negeri ini.

Berita yang membuat geger para aktifis lingkungan dan masyarakat yang merindukan keadilan di dunia adalah putusan bebas yang diberikan oleh majelis hakim pengadilan negeri medan kepada cukong besar Adelin Lis. Fakta dilapangan jelas bahakan dampak kerusakan hutan akibat penebangan liar (illegal logging) dan izin HPH melanggar hukum, bahkan untuk kerusakan lingkungan ada penerapan Straight Liability atau dimintai pertanggungjawaban secara langsung ketika akibat yang ditimbulkan sudah nampak tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan. Tapi entah permainan apa yang diterapkan pada proses peradilannya sehingga konglomerat hasil dari menzalimi rakyat Indonesia itu diputus bebas oleh hakim. Konon katanya untuk mendampingi Adelin Lis selama menjalani proses hukum Hotman Paris Hutapea selaku pengacaranya dibayar 125 Milyar, fantastis..

Kita masih ingat tentunya dengan putusan bebas yang dijatuhkan kepada pelaku kasus korupsi Bank Mandiri yang melibatkan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe, mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan mantan EVP Coordinator Corporate & Government M. Sholeh Tasripan yang merugikan negara Rp 160 miliar. Dakwaan yang diajukan pun cukup lumayan yaitu 20 tahun penjara dan denda Rp.1milyar subsider 12 bulan kurungan. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketiga terdakwa divonis bebas karena unsur kerugian negara tidak dapat dibuktikan. Vonis bebas bagi pemimpin Bank Mandiri tersebut secara otomatis membebaskan para debitor Bank Mandiri (Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan, tiga pengurus PT Cipta Graha Nusantara).
Nampaknya hukum dinegeri ini memihak pada kaum yang kuat saja dan baru berani mengeluarkan taringnya hanya pada kaum yang lemah. Seperti yang digambarkan oleh filsuf Yunani, Plato (427-347 sm) bahwa hukum adalah diibaratkan jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Selain putusan bebas yang masih cukup banyak, dari 76 kasus tersebut, 24 kasus di antaranya diputus dengan vonis hukuman di bawah 2 tahun penjara. Suatu hal yang mengelikan di negeri ini ialah kejahatan korupsi dianggap sebagai suatu perkara yang prestige, elegant dan dilakukan oleh orang-orang berdasi dan berjas sehingga dalam benak pikiran masyarakat kita masih lebih mengecam pelaku maling ayam atau pencuri nasi bungkus dibandingkan korupsi yang mertugikan bermilyar-milyar uang rakyat. Bahkan untuk menghakimi para maling yang melakukan kejahatan karena terdesak oleh laparnya perut mereka, masyarakat tidak segan-segan membakar hidu-hidup maling ayam dan nasi bungkus tersebut.

Harus Komprehensif

Kini perhatian publik tertuju pada pergantian pimpinan KPK baru yang diketuai oleh Antasari Azhar, meskipun kontroversi karena track record sebagai jaksa yang tidaklah terlalu Istimewa dari segi prestasi bahkan sering mengeluarkan statement yang tidak berpihak kepada penegakan hukum di bidang korupsi, komisi III DPR-RI tetap saja dengan mulus mengantarnya sebagai ketua yang baru menggantikan Taufiqurahman Ruqi. Sulit diterima oleh logika, apakah di negeri ini tidak ada atau sangat sulit untuk menemukan orang-orang yang memiliki integritas dan kecintaan yang tinggi terhadap negaranya. Sikap nasionalisme dan patriotisme mutlak diperlukan oleh para penegak hukum di negeri ini jika benar-benar ingin memusnahkan perilaku korupsi dari Republik tercinta ini. Kalau begitu apa yang harus kita benahi dari penanggulangan penyakit yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara ini?

Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur yang mengiringinya (three elements of legal system) yaitu, struktur (structure), substansi (subtance) dan kultur hukum (legal culture). Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum di bidang korupsi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan.

Pertama, dalam hal struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap institusi hukum yang ada di dalam lembaga peradilan seperti, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, Organisasi advokat dan juga yang sering dilupakan yaitu KPK. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum (Komisi Yudisial) dan lembaga penjaga konstitusi (Mahkamah Konstitusi). Termasuk kejelasan mengenai wewenang pelaksanaannya sehingga tidak terkesan over laping. Jika struktur hukum sudah diharmoniasasi dengan baik dapat kita saksikan nantinya institusi-institusi tersebut saling bantu-membantu mengusut, mengejar dan melawan praktik korupsi bukan lagi untuk saling tangkis-menangkis dan saling memasang badan seperti yang kita saksikan saat ini.

Kedua, mengenai substansi sistem hukum perlu segera direvisi dan dibuatkan pranata hukum yang menunjang proses penegakan hukum dibidang korupsi di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti: KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengaturan lainnya terkait masalah pemidanaan/sanksi yang bersifat tegas dan ancaman, tujuannya untuk membuat efek jera dan mencegah terulangnya perbuatan yang sama dikemudian hari. Permasalahannya kini tidak adanya kejelasan dan keberanian dalam menerapkan peraturan yang ada (hukum positif), dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 disebutkan ”Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”. Hanya tinggal diperjelas saja keadaan tertentu seperti apa saja yang bisa dijatuhi hukuman mati. Kuncinya adalah jangan segan-segan atau tanggung-tanggung dalam menjatuhi hukuman terhadap pelaku Korupsi ini. Lihatlah bagaimana China berani mengeksekusi pelaku korupsi dengan hukuman mati dan hasilnya, dinegara tersebut prilaku korupsi di tingkat elit menurun drastis.

Ketiga, terkait budaya hukum (legal culture), korupsi sudah menjalar bak jamur, tidak terbatas pada elit saja namun pada grass root (masyarakat lapis bawah). Penanaman sikap untuk memberitahukan begitu bahaya dan zalimnya perbuatan korupsi harus ditanamkan di lingkup keluarga, masyarakat, sekolah-sekolah, bangku kuliah hingga pada istana negara. Korupsi sudah membudaya, maka perlawanannya pun selain melalui jalur struktural juga melalui kultural. Yaitu dengan penyadaran akan pentingnya sikap jujur, adil dan bertanggung jawab kepada setiap insan di negeri ini.
Sebagai mahasiswa kita mempunyai peran strategis dalam membantu penyadaran akan pentingnya ras cinta terhadap tanah air kepada setiap anak bangsa. Masyarakat Indonesia harus memiliki kepekaan serta kepedulian terhadap nasib anak-cucu mereka dikemudian hari. Inilah sikap patriotisme dan nasionalisme positif yang sesungguhnya, bukanlah sekedar demonstrasi dengan mengeluarkan perkataan emosial “Ganyang Malaysia” seperi yang kita liat di media massa. Kita harus membenahi diri kita dahulu baru bertindak keluar. Dari kampuslah kita memulainya. Moralitas para elit harus benar-benar kita awasi bersama dengan melihat secara objektif kinerja mereka, jika buruk dan kotor kita harus legowo untuk tidak memilihnya kembali, bahkan siap untuk menurunkannya. Kita harus memilih pemimpin yang berintegritas tinggi dan memiliki kecintaan yang besar terhadap permasalahan negerinya. Pemimpin yang memiliki moralitas dan keberanian dengan sikap hidup yang sederhanalah yang harus kita pilih bersama. Jangan biarkan budaya korupsi terus tumbuh berkembang seperti jamur, namun harus kita jabut dan basmi sampai keakar-akarnya. Semua elemen bangsa mempunyai peranan signifikan dalam memerangi praktik korupsi, kenapa kita diam saja.. mari maju berantas korupsi..