Sunday, April 27, 2008

Tren Pemimpin Wanita

Menjadi seorang pemimpin dengan aktifitas yang menuntut seseorang untuk selalu tetap energik, bergerak, sigap, serta mengedepankan pikirannya kini tidak lagi menjadi monopoli kaum adam saja. Pada abad ke-20 khususnya pada dekade akhir isu persamaan hak asasi manusia salah satunya mengenai isu non diskriminasi gender antara kaum laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) secara lantang disuarakan. Selama ini budaya yang berkembang didunia cenderung bersifat “patrilinialis” yang membuat kaum wanita merasa termarginalkan atau golongan kelas dua setelah kaum pria.

Khusus dibidang politik masuknya wanita dalam kancah perpolitikan yang terbilang sebagai dunia yang penuh intrik, caci maki dan jauh dari “kehalusan” bisa terbilang sesuatu yang tabuh. Kita masih ingat dengan Margaret Thatcher dan Benazir Bhutto, di dunia internasional kedua nama tersebut tidak diragukan lagi kepolpulerannya sebagai seoang pemimpin wanita. Lalu di Indonesia ada Megawati yang mampu mengalahkan dominasi kaum pria dalam kepemimpinan di negeri ini. Dalam tulisan ini tidak akan lebih jauh membicarakan perkembangan kepemimpinan wanita secara dunia internasional tapi ingin mengambil dari konteks ke Indonesiaan dan kekinian.

Banyak yang menjadikan sosok kelahiran dan kehidupan Kartini sebagai simbol perjuangan wanita Indonesia. Namun kenyataannya wanita baru dapat muncul mengambil peranan strategis kepemimpinan baik dalam keprofesian hingga pemerintahan satu abad setelah kehadiran kartini. Apa yang menyebabkan kaum wanita berhasil menempatkan haknya yang setara dengan kaum pria dalam hal kepemimpinan?

Ada dua faktor pendobrak perubahan kaum wanita Indonesia, pertama adalah adanya pengaruh perubahan paradigma masyarakat dunia akibat dari pergerakan kaum feminis yang memperjuangkan hak kaum wanita di berbagai negara. Keberhasilan gerakan kaum feminis yang muncul dari eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet pada tahun 1785 diselatan Belanda. Pada abad 19 dan awal abad 20 keberhasilan gerakan feminisme mulai diterima masyarakat luas dengan gerakan yang mereka sebut Universal Sisterhood.

Salah satu keberhasilan kaum feminin memasukan filosofinya ialah dengan ditandai banyaknya konvensi internasional khususnya di bidang HAM yang memasukkan isu persamaan hak antara kaum wanita dengan pria serta menolak diskriminasi gender. Dari hal tersebut mau tidak mau suatu negara agar dikatakan sebagai negara yang beradab dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan harus ikut meratifikasi berbagai konvensi internasional tersebut, misalnya ICCPR Tahun 1966 (Internastional Covenant on Civil and Political Right) yaitu suatu konvensi internasional dibidang perlindungan hak sipil dan politik. Adanya dasar perlindungan hukum secara internasional tersebut menyebabkan suatu negara tidak terkecuali Indonesia menyesuaikan Hukum Nasionalnya dengan memasukkan isu perlindungan HAM itu salah satunya tentang non diskriminasi gender. Dalam Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dimasukkan istilah Diskriminasi yaitu setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Masih dalam UU yang sama diatur mengenai Hak turut serta dalam pemerintahan dan menjamin keterwakilan wanita dalam lembaga legislatif,eksekutif dan yudikatif.

Dalam Amandemen UUD Pasal 28 D ditegaskan bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan persamaan kedudukan dalam hukum, pekerjaan dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dengan demikian semakin jelas posisi dan kedudukan wanita dilindungi oleh hukum positif Indonesia. hal inilah yang menjadi salah satu alasan banyak munculnya tokoh-tokoh wanita yang menjabat peranan signifikan dalam suatu perusahaan hingga pemerintahan.

Faktor penentu kedua ialah bahwa selama dipimpin oleh pria timbul sebuah kekecewaan karena tidak terakomodasinya kepentingan kaum perempuan, padahal jika ditinjau dari komposisi perbandingan penduduk dunia kaum wanita lebih banyak dibandingkan pria. Sehingga keterwakilan wanita dalam masalah-masalah penting kerap kali di kesampingkan. Faktor ini yang menyebabkan kekhawatiran kaum perempuan bila tidak menempatkan wakilnya dalam masalah kepemimpinan di sektor mana pun di negeri ini. Perubahan paradigma perempuan yang menghendaki kemandirian pun cukup berpengaruh dalam memunculkan pemimpin dari kalangan wanita , ini selaras dengan tingginya tingkat pendidikan kaum wanita. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin kritis cara berpikirnya.

Saat ini kepemimpinan yang dipegang oleh wanita sudah dapat diterima oleh masyarakat Indonesia terlebih sejak terpilihnya Megawati sebagai Presiden Wanita pertama di Republik ini. Kepemimpinan wanita sudah menjadi tren tersendiri yang mampu mewarnai nuansa kompetisi kepemimpinan yang sebelumnya didominasi oleh kaum pria. Mampukah wanita Indonesia menempatkan dirinya sebagai Pemimpin di Negeri ini? Kita tunggu saja perkembangnya ke depan, apakah akan muncul Megawati atau Ratu Atut Khosiah (Gubernur Banten) selanjutkan dalam kepemimpinan di Indonesia. Hal ini sekaligus peringatan bila kaum pria tidak mampu meningkatkan kualitas kepemimpinannya dengan menunjukkan keberpihakannya terhadap permasalahan wanita, mungkin saja kepemimpinan bergeser trennya kearah pemimpin wanita.