Sunday, January 6, 2008

Berantas Korupsi Jangan Parsial!

Ada beberapa momentum penting di penghujung tahun 2007 ini yang mewakili berbagai dimensi kehidupan seperti kesehatan (hari aids 1 desember), hukum (hari anti-korupsi 9 desember), keagamaan ( Idul adha 20 desember dan Natal 25 desember) juga tidak lupa sebuah nilai kasih sayang kemanusiaan (hari Ibu 22 desember). Namun ada satu momentum yang sangat berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara yang berimplikasi pada dimensi kehidupan lainnya, sebuah nilai yang mengisyaratkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia kelak, yaitu peringatan hari anti korupsi 9 desember lalu.

Seluruh elemen bangsa Indonesia telah sepakat bahwa korupsi merupakan penyebab keterpurukan negeri ini di berbagai bidang kehidupan seperti: ekonomi, pendidikan, hukum, lingkungan hidup hingga kepada keamanan dan pertahanan Negara. Berbagai sendi kehidupan negara telah dirusak oleh penyakit akut yang bernama korupsi itu. Triliyunan rupiah jatah yang seharusnya diterima oleh rakyat melalui APBN dan APBD diambil secara zalim oleh para koruptor yang telah tertutup hati nuraninya oleh pemenuhan hawa nafsu kemewahan duniawi. Peringatan hari anti korupsi yang diselenggarkan setiap tanggal 9 desember yang baru saja berlalu pun tidak berdampak apapun terhadap penghilangan atau setidaknya pengurangan praktik korupsi di negeri ini. Meskipun pada acara peringatan tersebut dilaksanakan dan diikuti oleh para pejabat dari kejaksaan agung, kepolisian dan lembaga –lembaga negara lainnya nampaknya hasilnya akan tetap sama saja jika cara dan upaya yang diterapkan dalam praktik di lapangan tetap sama.

Ekspektasi luar biasa agar korupsi lenyap dari bumi pertiwi ini nampaknya masih jauh dari kenyataan. Dari catatan yang dihimpun oleh Indonesian Corruption Wacth (ICW), terdapat 76 kasus korupsi dengan 206 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus oleh pengadilan di sebagian besar wilayah Indonesia, dari tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), hingga kasasi (Mahkamah Agung). Dari 76 kasus tersebut, terdapat 14 kasus korupsi (18,4 persen) yang divonis bebas oleh pengadilan, sementara sisanya yang 62 kasus divonis bersalah.
Dari data tersebut masih adanya vonis bebas bagi terdakwa korupsi merupakan tanda tanya besar. Ada apa dengan peradilan kita? selam ini yang sering dijadikan kambing hitam adalah masalah sulitnya menemukan alat bukti untuk menjerat para pelaku korupsi tersebut. Bukankah seharusnya ketika jaksa melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan sudah dipersiapkan dengan segala sesuatunya termasuk kelengkapan alat bukti. Ada ada skenario besar yang merupakan rekayasa putusan dari para penegak hukum di negeri ini.

Berita yang membuat geger para aktifis lingkungan dan masyarakat yang merindukan keadilan di dunia adalah putusan bebas yang diberikan oleh majelis hakim pengadilan negeri medan kepada cukong besar Adelin Lis. Fakta dilapangan jelas bahakan dampak kerusakan hutan akibat penebangan liar (illegal logging) dan izin HPH melanggar hukum, bahkan untuk kerusakan lingkungan ada penerapan Straight Liability atau dimintai pertanggungjawaban secara langsung ketika akibat yang ditimbulkan sudah nampak tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan. Tapi entah permainan apa yang diterapkan pada proses peradilannya sehingga konglomerat hasil dari menzalimi rakyat Indonesia itu diputus bebas oleh hakim. Konon katanya untuk mendampingi Adelin Lis selama menjalani proses hukum Hotman Paris Hutapea selaku pengacaranya dibayar 125 Milyar, fantastis..

Kita masih ingat tentunya dengan putusan bebas yang dijatuhkan kepada pelaku kasus korupsi Bank Mandiri yang melibatkan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe, mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan mantan EVP Coordinator Corporate & Government M. Sholeh Tasripan yang merugikan negara Rp 160 miliar. Dakwaan yang diajukan pun cukup lumayan yaitu 20 tahun penjara dan denda Rp.1milyar subsider 12 bulan kurungan. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketiga terdakwa divonis bebas karena unsur kerugian negara tidak dapat dibuktikan. Vonis bebas bagi pemimpin Bank Mandiri tersebut secara otomatis membebaskan para debitor Bank Mandiri (Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan, tiga pengurus PT Cipta Graha Nusantara).
Nampaknya hukum dinegeri ini memihak pada kaum yang kuat saja dan baru berani mengeluarkan taringnya hanya pada kaum yang lemah. Seperti yang digambarkan oleh filsuf Yunani, Plato (427-347 sm) bahwa hukum adalah diibaratkan jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan kuat. (laws are spider webs; they hold the weak and delicated who are caught in their meshes but are torn in pieces by the rich and powerful).
Selain putusan bebas yang masih cukup banyak, dari 76 kasus tersebut, 24 kasus di antaranya diputus dengan vonis hukuman di bawah 2 tahun penjara. Suatu hal yang mengelikan di negeri ini ialah kejahatan korupsi dianggap sebagai suatu perkara yang prestige, elegant dan dilakukan oleh orang-orang berdasi dan berjas sehingga dalam benak pikiran masyarakat kita masih lebih mengecam pelaku maling ayam atau pencuri nasi bungkus dibandingkan korupsi yang mertugikan bermilyar-milyar uang rakyat. Bahkan untuk menghakimi para maling yang melakukan kejahatan karena terdesak oleh laparnya perut mereka, masyarakat tidak segan-segan membakar hidu-hidup maling ayam dan nasi bungkus tersebut.

Harus Komprehensif

Kini perhatian publik tertuju pada pergantian pimpinan KPK baru yang diketuai oleh Antasari Azhar, meskipun kontroversi karena track record sebagai jaksa yang tidaklah terlalu Istimewa dari segi prestasi bahkan sering mengeluarkan statement yang tidak berpihak kepada penegakan hukum di bidang korupsi, komisi III DPR-RI tetap saja dengan mulus mengantarnya sebagai ketua yang baru menggantikan Taufiqurahman Ruqi. Sulit diterima oleh logika, apakah di negeri ini tidak ada atau sangat sulit untuk menemukan orang-orang yang memiliki integritas dan kecintaan yang tinggi terhadap negaranya. Sikap nasionalisme dan patriotisme mutlak diperlukan oleh para penegak hukum di negeri ini jika benar-benar ingin memusnahkan perilaku korupsi dari Republik tercinta ini. Kalau begitu apa yang harus kita benahi dari penanggulangan penyakit yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan bernegara ini?

Menurut Lawrence Meir Friedman di dalam suatu sistem hukum terdapat tiga unsur yang mengiringinya (three elements of legal system) yaitu, struktur (structure), substansi (subtance) dan kultur hukum (legal culture). Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum di bidang korupsi terhadap ketiga unsur sistem hukum yang dikemukakan oleh Friedman tersebut sangat mutlak untuk dilakukan.

Pertama, dalam hal struktur sistem hukum, perlu dilakukan penataan terhadap institusi hukum yang ada di dalam lembaga peradilan seperti, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, Organisasi advokat dan juga yang sering dilupakan yaitu KPK. Selain itu perlu juga dilakukan penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap lembaga hukum (Komisi Yudisial) dan lembaga penjaga konstitusi (Mahkamah Konstitusi). Termasuk kejelasan mengenai wewenang pelaksanaannya sehingga tidak terkesan over laping. Jika struktur hukum sudah diharmoniasasi dengan baik dapat kita saksikan nantinya institusi-institusi tersebut saling bantu-membantu mengusut, mengejar dan melawan praktik korupsi bukan lagi untuk saling tangkis-menangkis dan saling memasang badan seperti yang kita saksikan saat ini.

Kedua, mengenai substansi sistem hukum perlu segera direvisi dan dibuatkan pranata hukum yang menunjang proses penegakan hukum dibidang korupsi di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang-undangan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti: KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pengaturan lainnya terkait masalah pemidanaan/sanksi yang bersifat tegas dan ancaman, tujuannya untuk membuat efek jera dan mencegah terulangnya perbuatan yang sama dikemudian hari. Permasalahannya kini tidak adanya kejelasan dan keberanian dalam menerapkan peraturan yang ada (hukum positif), dalam pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 disebutkan ”Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”. Hanya tinggal diperjelas saja keadaan tertentu seperti apa saja yang bisa dijatuhi hukuman mati. Kuncinya adalah jangan segan-segan atau tanggung-tanggung dalam menjatuhi hukuman terhadap pelaku Korupsi ini. Lihatlah bagaimana China berani mengeksekusi pelaku korupsi dengan hukuman mati dan hasilnya, dinegara tersebut prilaku korupsi di tingkat elit menurun drastis.

Ketiga, terkait budaya hukum (legal culture), korupsi sudah menjalar bak jamur, tidak terbatas pada elit saja namun pada grass root (masyarakat lapis bawah). Penanaman sikap untuk memberitahukan begitu bahaya dan zalimnya perbuatan korupsi harus ditanamkan di lingkup keluarga, masyarakat, sekolah-sekolah, bangku kuliah hingga pada istana negara. Korupsi sudah membudaya, maka perlawanannya pun selain melalui jalur struktural juga melalui kultural. Yaitu dengan penyadaran akan pentingnya sikap jujur, adil dan bertanggung jawab kepada setiap insan di negeri ini.
Sebagai mahasiswa kita mempunyai peran strategis dalam membantu penyadaran akan pentingnya ras cinta terhadap tanah air kepada setiap anak bangsa. Masyarakat Indonesia harus memiliki kepekaan serta kepedulian terhadap nasib anak-cucu mereka dikemudian hari. Inilah sikap patriotisme dan nasionalisme positif yang sesungguhnya, bukanlah sekedar demonstrasi dengan mengeluarkan perkataan emosial “Ganyang Malaysia” seperi yang kita liat di media massa. Kita harus membenahi diri kita dahulu baru bertindak keluar. Dari kampuslah kita memulainya. Moralitas para elit harus benar-benar kita awasi bersama dengan melihat secara objektif kinerja mereka, jika buruk dan kotor kita harus legowo untuk tidak memilihnya kembali, bahkan siap untuk menurunkannya. Kita harus memilih pemimpin yang berintegritas tinggi dan memiliki kecintaan yang besar terhadap permasalahan negerinya. Pemimpin yang memiliki moralitas dan keberanian dengan sikap hidup yang sederhanalah yang harus kita pilih bersama. Jangan biarkan budaya korupsi terus tumbuh berkembang seperti jamur, namun harus kita jabut dan basmi sampai keakar-akarnya. Semua elemen bangsa mempunyai peranan signifikan dalam memerangi praktik korupsi, kenapa kita diam saja.. mari maju berantas korupsi..