Mengamati perkembangan islam di indonesia hingga hari dapat di bagi ke dalam dua kurun waktu. Pertama, era sebelum reformasi termasuk di dalamnya masa kolonialisasi, masa awal kemerdekaan dan masa orde baru. Pada masa-masa itu Islam sulit berkembang akibat proteksi yang ketat dari penguasa ditambah lemahnya kualitas SDM negeri ini kala itu. Dampaknya pemahaman masyarakat mengenai nilai-nilai keislaman pun masih jauh dari apa yang seharusnya diperlihatkan misalnya, budaya sesajen, tumbal atau sesembahan dan hal-hal yang berkaitan dengan mistik lainnya. Padahal hal-hal seperti itu adalah budaya jahiliyah yang sudah diberantas oleh Rasulullah saw dan herannya berkembang kembali di negeri ini.
Kedua, periode reformasi hingga hari ini, ditandai dengan perkembangan dibidang teknologi informasi yang begitu pesat sehingga akses dalam memperoleh pengetahuan sangat mudah dan tanpa batas. Pada keadaan ini timbul implikasi yang positif bagi masyarakat dalam mengenal islam. Dahulu sulit sekali untuk mengetahui arti kandungan ayat-ayat Al-Quran kecuali menanyakannya langsung kepada kyai yang dianggap memiliki kemampuan bahasa arab. Tetapi kini dengan kemudahan akses informasi orang cukup menuliskan saja kata kunci yang ingin ia ketahui melalui internet maka dengan segera ia akan mendapatkan respon atas pertanyaannya itu. Keadaan inilah yang memudahkan penyebaran dakwah Islam keseluruh dunia termasuk indonesia. Ditambah iklim politik yang menguntungkan pasca reformasi digulirkan yang ditandai dengan tumbangnya rezim otoriter, yang selama ini menjadi pembatas pergerakan kaum muda khususnya pergerakan Islam.
Ada dua sisi yang dapat diamati mengenai perkembangan Islam di tanah air. Kita patut mensyukuri bahwa syiar Islam telah berkembang pesat di indonesia. Sebelum tahun 90-an kita amat sulit sekali melihat perempuan-perempuan indonesia mengenakan jilbab, tetapi kini mengenakan jilbab sudah menjadi Tren sendiri dikalangan wanita indonesia baik mereka yang mengenakannya karena memahami kewajibannya atau sekedar ingin menghadirkan suasana islami di lingkungannya. Pada sisi ini setidaknya syiar Islam mengenai aurat sudah diketahui oleh masyarakat luas. Tetapi itu saja tidaklah cukup, ada sebuah paradoks yang terjadi. Disatu sisi kita senang dengan situasi progresifnya penyebaran ajaran Islam di Indonesia namun disisi lainnya dalam satu waktu yang bersamaan kita juga heran dan teriris rasanya hati ini melihat realitas yang terjadi di negeri yang mayoritas muslim terbesar di dunia ini seperti: kemiskinan, kebodohan, dan pengangguran. Keadaan seperti inilah yang mendekatkan umat Islam indonesia kepada kekufuran sehingga tidak sedikit dari rakyat indonesia yang menghalalkan segala macam cara guna memperoleh penghasilannya. Kita bisa saksikan bersama bagaimana korupsi menjadi ‘Trademark’ dari pejabat di negeri ini. Pornografi menjadi konsumsi yang meracuni moral masyarakat. Kekerasan jadi jalan akhir penyelesaian masalah, dan sekelumit permasalahan lainnya. Apa yang menyebabkan sebuah keadaan paradoks ini terjadi. Kalaulah sisi positifnya saja yang berkembang tentu kita senang menyaksikannya namun seiring dengan perkembangan nilai-nilai Islam itu umat ini juga mengalami sebuah degradasi moral yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Penyebabnya
Pertama, Secara global, umat Islam di Indonesia selama ini masih terjebak dalam perbedaan-perbedaan yang sifatnya hanya merupakan cabang dari ajaran agama islam itu sendiri. Namun hal ini berdampak pada terpecah-belahnya ikatan persaudaraan sesama muslim. Dapat kita saksikan bagaimana kompleks atau rumitnya ulama-ulama negeri ini dalam menyepakati penentuan awal dan akhir Ramadhon. Mereka berdalih memiliki landasan dasar masing-masing, namun mereka melupakan esensi terpenting yaitu persatuan umat islam khususnya yang ada di indonesia ini.
Jika merujuk sejarah zaman para sahabat Rasullah saw dahulu. Sahabat Umar Bin Khatab telah mencontohkan bagaimana ia berani mengambil sebuah kebijakan (ijtihad) yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw dalam melaksanakan ibadah taraweh berjamaah di masjid. Kebijakan ini diambil setelah Umar prihatin melihat banyaknya orang-orang yang salat sendiri-sendiri (tercerai-berai) dalam satu masjid. Intinya ia menghendaki persatuan Umat ini di dahulukan tanpa menyalahi kaidah dan melawan ajaran rasul. Karena rasulullah pun selalu mengutamakan rasa persatuan (ukhuwah) diantara umatnya. Hikmah yang diambil dari peristiwa tersebut bukanlah sekedar bagaimana cara Umar ra dalam berijtihad melainkan adalah bagaimana Islam mengutamakan persatuan dan kesatuan diantara umatnya. Bagaimana masyarakat Islam bisa dibangun disuatu negara jika diantara masyarakatnya senantiasa berbeda pandangan mengenai Islam itu sendiri.
Ada persepsif yang keliru dalam memahami keanekaragaman yang ada. Masyarakat pada umumnya masih terjebak dalam memaknai bahwa perbedaan pendapat adalah merupakan rahmat dari Alloh swt ( sesuai hadist yang setelah diteliti lebih lanjut ternyata adalah hadist dhoif bahkan maudu (sesat)). Karena sesungguhnya perbedaan atau ketidaksepakatan pada hakikatnya tidak akan pernah membuat umat ini maju, malah sebaliknya akan membuat umat ini menjadi tercerai-berai. Perbedaan dalam menentukan hal yang sangat vital seperti menentukan awal dan akhir ramadhon janganlah pernah ditolerir atau dibiarkan melainkan harus disegerakan dalam menemukan titik temunya.
Penyebab Kedua, yang masih satu keterkaitan dengan hal sebelumnya. Yaitu masalah terbesar yang terjadi di indonesia sampai saat ini adalah masalah kepemimpinan. Sejak dahulu bangsa ini sulit sekali menemukan pemimpin yang memiliki karakter keislaman yang kuat (profetik), mempunyai integritas yang tinggi terhadap bangsa dan agamanya serta tidak mengharapkan pamrih apalagi sekedar ucapan terima kasih. Bayangkan dengan populasi 80% lebih kaum muslimin di indonesia saat ini seharusnya kita sudah memiliki pemimpin berakhlakul karimah yang menyediakan 100% waktu, tenaga dan pikirannya untuk mengurusi rakyatnya, bukan dirinya, keluarganya atau golonganya saja. Paradigma yang berkembang adalah pejabat, anggota dewan, menteri hingga Presiden atau beragam wujud kepemimpinan lainnya diposisikan kedudukannya berada diatas derajat rakyat biasa. Mereka hidup diatas kemewahan fasilitas negara dan berjalan dengan kesombongan diatas pajak rakyatnya. Mereka inginnya di service lebih. Seharusnya yang dimaksud dengan pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Memimpin sama dengan melayani, bukan dilayani.
Faktor kepemimpinan ini yang harus segera dibenahi, karena permasalahan kepemimpinan mempunyai peranan strategis sebagai penentu sekaligus eksekutor sebuah kebijakan yang langsung berdampak pada kehidupan masyarakat. Karena itu masyarakat kini diharapkan memiliki kecerdasan dalam menentukan pemimpinannya baik di tingkat RT, RW hingga kepada Presiden dan para anggota Dewan. Dan disinilah peranan umat islam indonesia dapat dimunculkan, karena umat harus selektif dalam memilih, pemimpin mana yang amanah, jujur dan mampu mengelola negeri ini. Jangan sampai umat islam hanya dijadikan komoditas politik saja dalam menggumpulkan dukungan atau suaranya.
Umat islam indonesia harus segera bangkit dari keterpurukan ini dengan memperbaiki kualitas sumber daya manusianya. Umat islam harus cerdas dalam memahami ajaran yang dibawakan oleh rasullullah saw, jangan lagi kita terjebak dalam permasalahan-permasalahan sepele namun berdampak kerugian yang besar. Dan pada akhirnya umat ini mampu memilih pemimpin yang profetik bagi negeri ini dan membawa negara ini kepada peradaban maju dunia.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment